September 30, 2008

Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1429H “Taqobbalalloohu minnaa wa minkum”

Iedul Fitri
Dari Artikel www.muslim.or.id
Lebaran adalah hari yang tidak asing bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Hari yang penuh suka cita, di mana kaum muslimin dibolehkan kembali makan dan minum di siang hari setelah satu bulan penuh berpuasa. Namun, jika kita tinjau perayaan lebaran (’Iedul Fitri) yang telah kita laksanakan, sudah sesuaikah apa yang kita lakukan dengan keinginan Allah dan Rosul-Nya? Atau malah kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya, dengan sekedar ikut-ikutan kebanyakan manusia? Untuk mengetahui perihal ini, mari kita simak bersama bahasan berikut.

Definisi ‘Ied
Kata “Ied” menurut bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang, baik dari sisi waktu atau tempatnya. Kata ini berasal dari kata “Al ‘Aud” yang berarti kembali dan berulang. Dinamakan “Al ‘Ied” karena pada hari tersebut Allah memiliki berbagai macam kebaikan yang diberikan kembali untuk hamba-hambaNya, yaitu bolehnya makan dan minum setelah sebulan dilarang darinya, zakat fithri, penyempurnaan haji dengan thowaf, dan penyembelihan daging kurban, dan lain sebagainya. Dan terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru dengan berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).

Perlu diperhatikan, saat ini telah menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul Fitri” adalah kembali kepada fitroh (suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus. Hal ini kurang tepat, baik secara tinjauan bahasa maupun istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian, seharusnya namanya “Iedul Fithroh” (bukan ‘Iedul Fitri). Adapun dari sisi syar’i, terdapat hadits yang menerangkan bahwa Iedul Fitri adalah hari dimana kaum muslimin kembali berbuka puasa.

Dari Abu Huroiroh berkata: “Bahwasanya Nabi shollallohu’alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Puasa itu adalah hari di mana kalian berpuasa, dan (’iedul) fitri adalah hari di mana kamu sekalian berbuka…’” (HR. Tirmidzi dan Abu dawud, shohih) (Majalah As Sunnah 05/I, Ustadz Abdul Hakim). Oleh karena itu, makna yang tepat dari “Iedul Fitri” adalah kembali berbuka (setelah sebelumnya berpuasa).

Pensyariatan ‘Ied (hari raya) Adalah Tauqifiyyah
Hari raya (tahunan) yang dimiliki oleh kaum muslimin, hanya ada dua, yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha. Adakah hari raya yang lain? Jawabnya: tidak ada. Karena pensyariatan hari raya merupakan hak khusus Allah ‘azza wa jalla. Suatu hari dikatakan hari raya apabila Allah menetapkan bahwa hari tersebut adalah hari raya (’Ied). Namun, jika tidak, kaum muslimin tidak diperkenankan merayakan atau memperingati hari tersebut. Alasannya adalah hadits Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Anas rodhiyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam datang ke Madinah dan (pada saat itu) penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang dipergunakan untuk bermain (dengan permainan) di masa jahiliyyah. Lalu beliau bersabda: ‘Aku telah datang kepada kalian, dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyyah. Sungguh Alloh telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni hari Nahr (’Iedul Adha) dan hari fitri (’Iedul Fitri).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shohih)

Dua hari raya yang dimiliki penduduk Madinah saat itu adalah hari Nairuz dan Mihrojan, yang dirayakan dengan berbagai macam permainan. Kedua hari raya ini ditetapkan oleh orang-orang yang bijak pada zaman tersebut karena cuaca dan waktu pada saat itu sangat tepat/bagus. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Tatkala Nabi datang, Allah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari raya pula yang Allah pilih untuk hamba-hamba-Nya. Sejak saat itu, dua hari raya yang lama tidak diperingati lagi. Berdasarkan hal ini, pensyariatan hari raya adalah tauqifiyyah (sesuai dengan perintah Allah). Seseorang tidak diperbolehkan menetapkan hari tertentu untuk perayaan/peringatan kecuali memang ada dalil yang benar dari Alloh (Al Qur’an) maupun Rosul-Nya (Al Hadits). Sehingga tidak benar, apa yang dilakukan sebagian besar kaum muslimin saat ini, dengan melakukan berbagai macam peringatan/perayaan yang sama sekali tidak ada tuntunannya. Di antaranya: peringatan/perayaan maulid Nabi, Isro Mi’roj, Nuzulul Quran, hari Kartini, hari ibu, dan hari ulang tahun.

Umat Islam di Indonesia yang katanya mayoritas, sebagian besar masih enggan mengamalkan syariat Islam dengan sepenuhnya. bertentangan dengan firman Allah Swt. :

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (Al Baqarah : 208)

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. ( Al Maidah : 104 )


“Taqobbalalloohu minnaa wa minkum”
Selamat hari Raya Iedul Fitri 1429 H

September 23, 2008

Bersedekahlah walau disaat kita susah


Allah memberikan rahasia tentang bagaimana caranya kalau mau dilapangkan rezeki ketika sempit rezekinya, yaitu dengan jalan "SEDEKAH".

Ingatlah !!
Bahwa harta yang kita miliki di dunia ini adalah bukan milik kita, tetapi milik Allah.

Menjadi biasa jika bersedekah, berzakat, di kala senang dan di kala kaya ....sebab memang tidak ada yang istimewa,
itu adalah keharusan. Justru menjadi aneh, bila di saat mampu tidak mau berbagi.
Maka, ketika kita mau bersedekah, mau mengorbankan harta kita, di saat tidak punya, nilainya sangat luar biasa di sisi Allah.

Dan inilah kunci pembuka rezeki yang sebenarnya.

Jangan takut harta dan uang kita akan habis (padahal kita lagi tidak punya), dan kita jadi mati kelaparan karena kita berikan kepada mereka-mereka yang lebih membutuhkan. Ingat harta itu...uang itu bukan milik kita tapi milik Allah.

Allah Maha Melihat, Allah Maha Mengetahui dan Allah Maha Menatap. Allah tidak akan membuat hambanya sengsara dan menderita. Percayalah bahwa Allah akan melapangkan dan memberikan rezeki kepada kita dengan jalan yang tidak kita sangka sebelumnya.

Bagaimana ukuran sedekahnya?

Simak cerita "Budak Hitam" di bawah ini ....

Alkisah, sudah sejak lama Abu Thalhah memperhatikan pekerja tetangga kebunnya, seorang 'Budak Hitam'.

Abu Thalhah adalah seorang yang sangat kaya raya pada zamannya. Dia banyak memilik perkebunan, salah satunya adalah kebun yang berlokasi bersebelahan dengan kebun dimana di Budak Hitam bekerja. Kebun majikan si Budak Hitam tidak seluas milik Abu Thalhah, karenanya upahnya pun sangat sedikit, hanya tiga potong roti per harinya.

Budak Hitam ini menjalani hidupnya dengan ikhlas dan keimanan yang tinggi akan kemurahan Tuhannya. Dia tidak peduli dengan minimnya upah yang dia terima, baginya panca indra yang lengkap dan masih bisa bernafas saja sudah merupakan dua nikmat yang tidak mampu dia bayarkan dan dia sangat bersyukur sekali. Ia selalu merasa amalnya tidak berarti apa-apa dubandingkan dengan kemurahanNya.

Pada suatu ketika si Budak Hitam mendapati seekor anjing menjulurkan lidahnya, tanda kelaparan. Demi melihat anjing ini dia memberikan 1 dari 3 potong roti yang digenggamnya. Tapi ketika roti itu diberikan, anjing itu masih mengibaskan ekornya tanda kelaparan, lalu ia berika lagi roti yang ke 2, bahkan potongan ke 3 pun dia berikan kepada anjing itu, hingga anjing itu kenyang dan berlalu dari hadapannya.

Abu Thalhah yang memang sudah lama memperhatikan Budak hitam ini, menjadi tertegun menyaksikan apa yang dilihatnya. Ia tahu bahwa upah si Budak Hitam hanya 3 potong roti tersebut, tidak ada yang lain. Tapi dia lebih rela dan ikhlas, bila anjing yang makan roti upahnya kerjanya.

Karena penasaran, Abu Thalhah bertanya kepada si Budak, "Sadarkah engkau apa yang telah engkau lakukan?"
"Sadar" jawab si Budak.
"Adakah upah lain yang diberika majikanmu?" Tanya Abu Thalhah lagi.
"Upahku hanyalah yang tuan lihat"
"Apa kamu tidak merasa kuatir tidak dapat makan?" tanya Abu Thalhah lagi.
"Saya tidak kuatir. Ada upah lain dari Tuhanku. Saya yakin dan percaya. Tuhan saya akan memperhatikan saya," jawab si Budak dengan penuh keyakinan.

"Terus apa kamu tidak menyesal nanti?" Cecar Abu Thalhah.
Si Budak menjawab "Untuk apa saya harus menyesal?"

Tahulah si Budak bahwa Abu Thalhah memeprhatikan perilakunya terhadap anjing tadi. Tapi sungguh karena 'kebodohan dan kepolosannya', ia tidak tahu apa maksud Abu Thalhah. Jawabannya benar-benar tulus dari hatinya yang bersih.

Setelah bincang-bincang Abu Thalhah minta ditunjukkan rumah majikan si Budak, karena Abu Thalhah bersedia membeli kebun itu, jika kebun itu dijual. Singkat cerita, kebun itu berpindah tangan menjadi milik Abu Thalhah dan Abu Thalhah menghadiahkan kebun tersebut kepada si Budak tadi. Dan jadilah kini si Budak tersebut pemilik baru kebun tersebut.

"Maha Suci ALLAH"

Dari cerita ini kita menjadi tahu, seberapa besar ukuran bersedekah yang bisa mengangkat derajat dan menghilangkan kesusahan.

Bersedekahlah selagi kita tidak punya dan tidak mampu....karena lebih mulia di mata Allah.

Ingatlah matematika sedekah : 10 - 10 = 100 (hasilnya bukan 0)

Ingatlah bahwa "... Allah melipatgandakan balasannya... Allah Maha luas KarunianNya lagi Maha Mengetahui" (Al-Baqarah : 261)